Halo, sahabat Bengkel Bunda!
Apa kabar?
Pastinya, saat ini sedang merayakan Idul Adha bersama keluarga tercinta, ya!
Seperti yang kita tahu, Idul Adha menjadi puncak perayaan ibadah haji. Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari berbagai penjuru dunia menunaikan ibadah haji. Di antara rangkaian ritual yang dijalani, ada satu bagian yang cukup unik: sa’i, yaitu berjalan atau berlari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Banyak yang mungkin hanya menjalani sa’i sebagai kewajiban rukun haji, tanpa menyadari bahwa ritual ini adalah penghormatan atas perjuangan seorang ibu, Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibu dari Nabi Ismail.
Ibadah haji sebenarnya menjadi sebuah momen refleksi bersama atas ketangguhan seorang ibu.
Hajar: Perempuan Tangguh di Tengah Padang Pasir
Kisah Hajar bukan sekadar pelengkap dalam sejarah para nabi. Ia adalah tokoh utama dalam salah satu momen paling penting dalam sejarah spiritual umat Islam. Ketika Ibrahim, atas perintah Allah, meninggalkan Hajar dan bayi mereka, Ismail, di sebuah lembah tandus yang kelak bernama Mekkah, Hajar tidak pasrah.
Bayangkan: seorang perempuan sendirian, di tengah padang pasir, tanpa persediaan makanan, tanpa tempat tinggal, dan tanpa jaminan keselamatan. Tapi yang ia miliki adalah iman yang kokoh, naluri keibuan yang kuat, dan dorongan untuk melindungi anaknya.
Sa’i: Ritual yang Lahir dari Perjuangan Ibu
Hajar berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah dalam upayanya mencari air demi anaknya yang menangis kehausan. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi tujuh kali. Ia tidak berhenti. Ia tidak menyerah. Dan dari perjuangannya inilah Allah memunculkan air zam-zam dari bawah kaki Ismail.
Baca Juga : Hari Kartini Bukan Cuma Soal Kebaya: Kenapa Peran Ibu Sering Diabaikan?
Sa’i, yang kini menjadi bagian dari ibadah haji dan umrah, adalah peringatan abadi atas keteguhan, daya juang, dan cinta kasih seorang ibu. Ini bukan ritual sembarangan. Ini adalah simbol keberanian dan pengharapan yang tak padam.
Mengapa Peran Hajar Sering Terlupakan?
Sayangnya, dalam banyak narasi keagamaan, nama Hajar sering disebut sepintas lalu. Setiap tahun, perayaan Idul Adha sering kali hanya fokus pada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Padahal, tanpa Hajar, tidak akan ada zam-zam. Tidak akan ada Mekkah. Tidak akan ada sa’i.
Hal ini mencerminkan bagaimana peran perempuan, khususnya ibu, kerap dikaburkan dalam sejarah dan ajaran keagamaan. Padahal dalam kisah ini, justru Hajar-lah yang menunjukkan keteladanan paling konkret dalam bentuk iman yang aktif dan penuh inisiatif.
Ketangguhan Ibu dalam Perspektif Ibadah
Kalau kita renungkan lebih dalam, banyak aspek dalam ibadah mencerminkan peran perempuan, khususnya ibu dalam momen perayaan Idul Adha ini. Seperti:
- Kesabaran dalam menghadapi ujian hidup → Seperti Hajar yang tidak putus asa walau ditinggal di tempat asing.
- Insting protektif dan pengorbanan → Seorang ibu rela melakukan apapun untuk anaknya, bahkan jika harus menantang alam.
- Iman yang tidak bersyarat → Hajar tidak bertanya "kenapa aku?", ia hanya bertindak, percaya, dan terus bergerak.
Ritual sa’i sejatinya adalah representasi spiritual dari cinta seorang ibu yang tak mengenal lelah. Dan Allah mengabadikan itu dalam ibadah yang wajib dilakukan jutaan umat setiap tahunnya. Ini bukan hal kecil—ini monumental.
Hajar dan Perempuan Masa Kini
Hajar bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah cerminan dari perempuan modern yang harus berjuang sendirian, mengambil keputusan berat, dan tetap tegak meski dunia seperti runtuh.
Dari Hajar, ketangguhan itu kini terefleksikan dalam perjuangan perempuan modern masa kini, misalnya;
- Ibu tunggal yang membesarkan anak tanpa dukungan
- Perempuan yang ditinggal demi “tugas besar” oleh pasangannya
- Ibu pekerja yang tetap memprioritaskan keluargat
- Aktivis perempuan yang menyuarakan keadilan di tengah badai kritik
Semua mereka adalah “Hajar-Hajar” masa kini.
Mari Rayakan Peran Perempuan dalam Ibadah
Setelah tahu lebih dalam tentang sejarah Idul Adha, maka sudah saatnya kita tidak lagi membisukan peran perempuan dalam kisah-kisah besar spiritualitas. Hajar layak mendapatkan tempat yang setara dengan Ibrahim dan Ismail. Ia bukan tokoh pendukung. Ia adalah pahlawan utama.
Baca Juga : Membangkitkan Feminine Energy dengan Menulis Jurnal
Sebagai perempuan, kita punya hak untuk melihat diri kita di dalam ibadah. Melihat bahwa spiritualitas bukan hanya urusan para nabi laki-laki, tapi juga para ibu, para istri, para perempuan tangguh yang mungkin tak disebut banyak, tapi jejaknya abadi.
Penutup: Dari Hajar, Untuk Kita Semua
Ibadah haji bukan hanya tentang kurban dan thawaf. Ia adalah tentang iman yang terus bergerak, seperti Hajar yang berlari demi harapan. Dalam setiap langkah sa’i, ada kisah cinta seorang ibu yang tak bisa dilupakan.
Dan dari kisah itu, kita belajar: bahwa ketangguhan ibu bukan hanya soal fisik, tapi soal hati yang tidak menyerah. Soal kepercayaan pada Allah yang tak pernah padam, bahkan di tengah tandusnya kehidupan.
Jadi, sahabat Bengkel Bunda sekalian, sebagai seorang perempuan yang juga seorang ibu, mari kita teladani kisah Hajar ini. Jadikan spirit perjuangan Hajar sebagai, teladan dalam menjalankan peran keibuan kita.
Baca Juga : Idul Adha Dirayakan, Tapi Perempuan Hanya Jadi Figuran?
Semoga kita bisa terus merayakan dan mewarisi semangat itu, dalam doa, dalam aksi, dan dalam cerita yang kita wariskan pada generasi berikutnya.
No comments